Jumat, 07 Februari 2020
Museum Pendidikan Surabaya
Melihat indahnya peninggalan Rumah Kapitan Cina di kota Madiun
Perjalanan saya kali ini ke kota Madiun penuh dengan ‘kejutan’ . Salah satu kejutan itu adalah melihat ada bangunan tua dengan arsitektur Belanda Cina yang dulu terlihat seram, karena tidak terawat dan terkesan angker. Pun begitu saya selalu penasaran dengan kondisi didalam pagar rumah tersebut. Kini bagunan tua suram yang terletak di depan alun-alun kota Madiun itu disulap menjadi bangunan tua yang indah dan instagramable untuk spot foto.
Alkisah rumah tersebut dahulu adalah rumah seorang Kapitan Cina di Madiun. Kapitan Cina dulunya adalah kepanjangan tangan pemerintah Belanda yang bertugas untuk mengawasi dan menarik retribusi kepada setiap warga Cina yang berdagang di Madiun. Pada masa Hindia Belanda, level di atas kapitan adalah Majoor (Mayor) dan level di bawahnya adalah Luitenant (Letnan).
Kapitan Cina memiliki kedudukan penting pada masa kolonial. Hal itu ditandai dengan jalur rel kereta api Madiun-Ponorogo yang berujung pada stasiun Madiun lama dan saat memasuki pusat kota bercabang hingga berhenti di depan rumah Kapitan Cina. Jalur kereta api Madiun-Ponorogo sejak era 80-an sudah tidak aktif. Sedangkan rel yang mengarah ke Alun-Alun Madiun tertutup proyek pelebaran jalan. Jalur rel berhenti di depan rumah Kapitan Cina, menandakan jabatan itu sangat berpengaruh.
Kapitan tersebut bernama Njoo Swie Lian. Ia diangkat oleh Residen Madiun menjadi seorang Kapitan Cina di Madiun pada tahun 1912 hingga akhir hayatnya tahun 1930.
Kapitan Njoo memiliki istri bernama Ong Swan Nio dan anak bernama Njoo Hong Bo. Setelah Kapitan Njoo Swie Lian meninggal, rumah tersebut ditempati oleh keturunannya, Njoo Hong Bo.
Seiring waktu, Njoo Hong Bo memiliki anak laki-laki bernama Njoo Jie Ling dan anak perempuan bernama Ibu Yenny. Rumah kapitan tersebut kemudan ditempati Ibu Yenny hingga tahun 2012.
Rumah kemudian dijual dan berpindah tangan ke pemilik baru bernama Ibu Elly hingga sekarang. Sedangkan Ibu Yenny yang merupakan keturunan Kapiten Njoo Swie Lian pindah ke Semarang.
Rumah Kapitan Cina di Kota Madiun termasuk langka, karena di Indonesia hanya ada dua yakni Madiun dan Medan.
Kini Bangunan beralih fungsi menjadi kedai kopi dengan sajian live music. Dengan latar latar belakang gedung kuno yang masih dioertahankan fasad aslinya tentu menjadi daya tarik sendiri bagi pengunjungnya. Nah buat yang pengen liat langsung, kalau kemadiun bisa singgah di kopi Kakak depan Alun-alun kota Madiun
Langgar Dukur Kampung Lawas Lawang Seketeng
Langgar dukur pada awal pembuatannya, materi yang dipergunakan 100% adalah kayu jati. Bangunan yang ada sekarang tampak telah terpasang jeruji besi sebagai pengaman serambi dan pintu besi di area masuk tangga langgar. Pintu dan jendela yang ada di beberapa penjuru mushola, terdiri dari satu kayu yang diukir langsung. Bukan beberapa kayu terpisah, kemudian dijadikan satu seperti pintu-pintu saat ini. Begitu juga dengan engsel serta kunci yang digunakan. Engsel berukuran besar khas arsitektur era kolonial masih terpasang dan berfungsi dengan baik. Sedangkan kunci berukuran besar pun masih digunakan hingga saat ini.
Baru baru ini pemkot Surabaya telah merenovasi langgar tersebut dengan menyangga lantai langgar dengan besi, agar lebih kuat menahan beban.
Tenun Alor
Al Quran dari kulit kayu sebagai jejak penyebaran agama Islam di Pulau Alor
Menurut sejarah, Al-Quran kuno ini dibawa ke Alor pada 1523 M oleh Iang Gogo dari Kesultanan Ternate (pada masa Sultan Baabullah), yang merantau bersama keempat saudaranya dengan misi penyebaran agama Islam hingga ke Pulau Alor. Kini Al Quran tersebut disimpan di Desa Alor Kecil, Alor, di sebuah rumah milik keturunan ke-14 dari Iang Gogo, yaitu Nurdin Gogo.
Sedangkan Masjid tua yang berada disamping rumah tempat penyimpanan Al Quran tua itu menjadi salah satu pusat dakwah para pembawa syiar ketika mereka membawa masuk misi Islam di Kabupaten Alor. Masjid tua tersebut masih digunakan sebagai tempat ibadah hingga saat ini.