Jumat, 07 Februari 2020

Museum Pendidikan Surabaya

febri_shintyawatie Tadi sore diperjalanan mau ke rumah sodara mampir ke Musium Pendidikan eks Bangunan Sekolah Taman Siswa Surabaya.  Salah satu cagar budaya di Surabaya yang dahulu merupakan bangunan sekolah Taman Siswa, sekolah pribumi pertama di Surabaya. Didalam musium kita bisa lihat beberapa alat peraga pendidikan  era tahun 50-70’ an, replika suasana kelas jaman dahulu, dengan bangku lama dan terdapat lubang ditengah mejanya sebagai tempat meletakkan tinta. Ijazah sekolah jaman dulu, hingga buku raport jaman Jepang juga dipamerkan disana.



















Dengan meihat bangunan era kolonial yang dibangun antara tahun 1925-1930 ini kita bisa membayangkan bagaimana gedung tua ini telah menelurkan putra bangsa dengan wawasan dan pengetahuan yang lebih maju karena jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya di sana. Bangunan ber cat putih diseuruh bagiannya ini setelah direnovasi terlihat sangat bersih, dan megah. Gedung ini terhubung langsung dengan taman ekspresi yang berada tepat dibelakang bangunan musium dengan pemandangan sungai Kalimas lengkap dengan nyala lampu lampion yang tergantung di sepanjang sungai bila malam hari. Sungguh sore yang berfaedah 😄😄
Semoga kedepan akan lebih banyak cagar budaya yang dapat diperbaiki dan dikelolah lebih baik, sehingga menjadi salah satu alternatif wisata sejarah di Surabaya ❤️❤️❤️





Melihat indahnya peninggalan Rumah Kapitan Cina di kota Madiun

Perjalanan saya kali ini ke kota Madiun penuh dengan ‘kejutan’ . Salah satu kejutan itu adalah melihat ada bangunan tua dengan arsitektur Belanda Cina yang dulu terlihat seram, karena tidak terawat dan terkesan angker. Pun begitu saya selalu penasaran dengan kondisi didalam pagar rumah tersebut. Kini bagunan tua suram yang terletak di depan alun-alun kota Madiun itu disulap menjadi bangunan tua yang indah dan instagramable untuk spot foto.





Alkisah rumah tersebut dahulu adalah rumah seorang Kapitan Cina di Madiun. Kapitan Cina dulunya adalah kepanjangan tangan pemerintah Belanda yang bertugas untuk mengawasi dan menarik retribusi kepada setiap warga Cina yang berdagang di Madiun. Pada masa Hindia Belanda, level di atas kapitan adalah Majoor (Mayor) dan level di bawahnya adalah Luitenant (Letnan).  

Kapitan Cina memiliki kedudukan penting pada masa kolonial. Hal itu ditandai dengan jalur rel kereta api Madiun-Ponorogo yang berujung pada stasiun Madiun lama dan saat memasuki pusat kota bercabang hingga berhenti di depan rumah Kapitan Cina. Jalur kereta api Madiun-Ponorogo sejak era 80-an sudah tidak aktif. Sedangkan rel yang mengarah ke Alun-Alun Madiun tertutup proyek pelebaran jalan. Jalur rel berhenti di depan rumah Kapitan Cina, menandakan jabatan itu sangat berpengaruh. 








Kapitan tersebut bernama Njoo Swie Lian. Ia diangkat oleh Residen Madiun menjadi seorang Kapitan Cina di Madiun pada tahun 1912 hingga akhir hayatnya tahun 1930.

Kapitan Njoo memiliki istri bernama Ong Swan Nio dan anak bernama Njoo Hong Bo. Setelah Kapitan Njoo Swie Lian meninggal, rumah tersebut ditempati oleh keturunannya, Njoo Hong Bo.

Seiring waktu, Njoo Hong Bo memiliki anak laki-laki bernama Njoo Jie Ling dan anak perempuan bernama Ibu Yenny. Rumah kapitan tersebut kemudan ditempati Ibu Yenny hingga tahun 2012.

Rumah kemudian dijual dan berpindah tangan ke pemilik baru bernama Ibu Elly hingga sekarang. Sedangkan Ibu Yenny yang merupakan keturunan Kapiten Njoo Swie Lian pindah ke Semarang.

Rumah Kapitan Cina di Kota Madiun termasuk langka, karena di Indonesia hanya ada dua yakni Madiun dan Medan. 









Kini Bangunan beralih fungsi menjadi kedai kopi dengan sajian live music. Dengan latar latar belakang gedung kuno yang masih dioertahankan fasad aslinya tentu menjadi daya tarik sendiri bagi pengunjungnya. Nah buat yang pengen liat langsung, kalau kemadiun bisa singgah di kopi Kakak depan Alun-alun kota Madiun

Langgar Dukur Kampung Lawas Lawang Seketeng

Surabaya sebagai kota pahlawan memiliki sejarah panjang dari masa kolonial. Selain cerita rakyat tentang jejak perjuangan masyarakat Surabaya juga terdapat bangunan bersejarah yang dibangun oleh rakyat atau bangunan bersejarah peninggalan belanda. 
Surabaya utara sebagai sudut ‘kota tua’ surabaya memiliki banyak bangunan bersejarah peninggalan belanda ataupun kampung lawas yang beberapa warga masih menempati dan merawat bangunan arsitek belanda peninggalan keluarga mereka. Dikampung-kampung lawas inilah banyak terkuak sejarah penanda perjuangan rakyat Surabaya. 
Salah satu bangunan tersebut adalah langgar Dukur kampung lawas lawang seketeng. Yang terletak di kelurahan peneleh, kecamatan Genteng. Letak langgar ini bisa diakses melalui beberapa gang kecil dari  perkampungan tersebut. Diantaranya lewat kampung lawang seketeng dan kampung pandean yang memang terhubung satu sama lain. 











Langgar dukur pada awal pembuatannya, materi yang dipergunakan 100% adalah kayu jati. Bangunan yang ada sekarang tampak telah terpasang jeruji besi sebagai pengaman serambi dan pintu besi di area masuk tangga langgar. Pintu dan jendela yang ada di beberapa penjuru mushola, terdiri dari satu kayu yang diukir langsung. Bukan beberapa kayu terpisah, kemudian dijadikan satu seperti pintu-pintu saat ini. Begitu juga dengan engsel serta kunci yang digunakan. Engsel berukuran besar khas arsitektur era kolonial masih terpasang dan berfungsi dengan baik. Sedangkan kunci berukuran besar pun masih digunakan hingga saat ini.





Pada mimbar terdapat tulisan Arab penanda berdirinya langgar tersebut. Yang berbunyi “ Jumeneng puniko langgar tahun sewu wolong atus sangang puluh telu sasi setunggal” Kentongan sebagai penanda waktu sholatpun masih tergantung asli sejak awal dibangunnya langgar tersebut, dengan plafon dari bambu/ gedheg yang dicat putih. Langgar ini mampu menampung sekitar 50 jamaah. Didalam langgar juga terdapat tongkat mimbar yang mempunyai ujung besi menyerupai tombak dan Al Quran tua dengan stempel air dari kerajaan Belanda. .








Baru baru ini pemkot Surabaya telah merenovasi langgar tersebut dengan menyangga lantai langgar dengan besi, agar lebih kuat menahan beban. 
Diarea depan langgar juga terdapat pujasera mini yang menjual kuliner khas Surabaya, seperti sate manggul, nasi bebek dan rujak cingur. Serta beberapa jajanan dari UMKM warga setempat. 
Disekitar langgar juga terdapat beberapa peninggalan bersejarah yang tak kalah menarik.

Tenun Alor

Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan warisan budaya dan keindahan alam. Provinsi yang terletak di bagian tenggara Indonesia itu memiliki beberapa pulau, yaitu Lombok, Flores, Sumba, Komodo, dan pulau lainnya.
Meski memiliki adat istiadat yang berbeda, terdapat kesamaan di antara semua suku yang tersebar di kepulauan NTT, yakni kain tradisionalnya. Kain khas itu dikenal dengan nama tenun. Menenun sendiri diketahui sebagai kegiatan membuat sehelai kain dengan cara memasukkan benang pakan secara horizontal pada benang-benang, yang biasanya, telah diikat dan dicelupkan ke pewarna yang dibuat dari akar dan pepohonan.






Kegiatan menenun dikembangkan oleh setiap suku di Nusa Tenggara Timur secara turun-temurun, demi pelestarian seni tenun itu. 
Tenun bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur dipandang sebagai harta berharga milik keluarga yang bernilai tinggi.

Sejak dahulu hingga sekarang, kain tenun Alor terkenal dengan keindahan motif. Bahkan, aneka warna yang dihasilkan berasal dari tumbuhan. Ternyata, para perajin kain tenun di Pulau Alor, Nusatenggara Timur, tak hanya pandai menenun. Mereka pun pandai memintal benang. Pemrosesan dari kapas hingga menjadi kain, ternyata membutuhkan waktu hingga lima bulan lamanya.
Prosesnya diawali dengan membersihkan kapas dengan alat yang disebut beneha kapo klukung. Selanjutnya kapas dipintal menjadi benang. Setelah menjadi benang baru diberi warna sesuai selera. Adapun zat pewarna yang digunakan bukan dari bahan kimia, tapi dari tumbuh-tumbuhan.
Warna hijau dihasilkan dari daun pepaya, kuning dari kunyit dan hitam dari daun nila. Ada 30 jenis warna bisa dihasilkan dari tetumbuhan yang hidup di Pulau Alor. Proses pewarnaan pun memakai cara tradisional, seperti digoreng di atas kuali atau penggorengan.








Kain yang telah diberi bermacam-macam warna ini kemudian ditenun menjadi selendang atau sarung dengan motif khas Pulau Alor, antara lain rumah adat dan moko, proses menenun biasanya memakan waktu satu hingga dua pekan untuk selembar kain sarung maupun selendang. Harga termurah untuk selendang adalah Rp 100 ribu, sedangkan kain sarung dilepas seharga Rp 500 rb hingga Rp 5 jt








Al Quran dari kulit kayu sebagai jejak penyebaran agama Islam di Pulau Alor


Pulau Alor sebagai salah satu tujuan penyebaran agama Islam dari Kesultanan Ternate juga menyimpan peninggalan bersejarah, yang hingga kini masih terawat dengan baik. Peninggalan tersebut yaitu Al Quran yang terbuat dari bahan kulit kayu tipis dan ditulis dengan tinta serta pewarna alami yang masih 98% utuh kelengkapan ayat dan suratnya.



Menurut sejarah, Al-Quran kuno ini dibawa ke Alor pada 1523 M oleh Iang Gogo dari Kesultanan Ternate (pada masa Sultan Baabullah), yang merantau bersama keempat saudaranya dengan misi penyebaran agama Islam hingga ke Pulau Alor.  Kini Al Quran tersebut disimpan di Desa Alor Kecil, Alor, di sebuah rumah milik keturunan ke-14 dari Iang Gogo, yaitu Nurdin Gogo.



Letaknya di sebelah masjid yang dibangun pertama kali di pulau Alor, Masjid Babussholah yang tak jauh dari pesisir pantai Alor Besar. Masjid ini dibangun sekitar tahun 1633 Masehi dan sudah beberapa kali direnovasi. Al Quran tertua dan masjid Babussholah termasuk saksi sejarah masuknya Islam di Pulau Alor melalui perdagangan, dan pengaruhnya membuat mayoritas penduduk di pesisir pulau tersebut beragama Islam.



Terdapat suatu cerita dimana rumah pondok tempat Al Quran ini tersimpan sekitar tahun 1982, terjadi kebakaran besar yang menghanguskan seluruh bangunan dan isi rumah termasuk semua benda-benda peninggalan Iang Gogo yang dibawa dari Ternate. Tetapi anehnya, Alquran tertua ini tidak terbakar dan hingga saat ini masih tetap terawat dan utuh,
Sedangkan Masjid tua yang berada disamping rumah tempat penyimpanan Al Quran tua itu menjadi salah satu pusat dakwah para pembawa syiar ketika mereka membawa masuk misi Islam di Kabupaten Alor. Masjid tua tersebut masih digunakan sebagai tempat ibadah hingga saat ini.


Untuk menuju ke tempat penyimpanan Al Quran ini anda bisa naik angkot dari Kalabahi menuju ke Alor besar, perjalanan memakan waktu kurang lebih 45 menit, akses jalan yang dilalui sudah cukup bagus, dengan pemandangan alam pantai dan laut Alor yang mempesona.